EQOZMEDIA.ID – Pembangunan daerah Sulawesi Tengah (Sulteng) saat ini patut dibanggakan pemerintah dengan melihat tingginya angka pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir.
Bahkan Sulteng tercatat sebagai daerah peringkat kedua yang mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional.
Meskipun demikian, melesatnya pertumbuhan ekonomi Sulteng seolah menyisihkan ketimpangan masyarakat lokal. Artinya meskipun ekonomi tumbuh, hasilnya belum terdistribusi secara merata. Hal tersebut menjadi tantangan yang harus dihadapi oleh kepemimpinan Anwar Hafid-Reny Lamadjido sebagai gubernur dan wakil gubernur Sulteng.
Sulteng memang memiliki daya tarik tersendiri dengan berbagai potensinya. Pada tahun 2024, perekonomian Sulteng yang dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai Rp 376,95 triliun atau tumbuh sebesar 9,89% dibanding tahun sebelumnya.
Tingginya pertumbuhan ekonomi Sulteng ini adalah keberlanjutan yang berlangsung dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah melewati masa pandemi COVID19.
Saat pandemi tahun 2020, pertumbuhan ekonomi Sulteng berkisar 4,86% atau berada di atas rata-rata nasional. Lalu melesat ke angka 11,70 % setahun kemudian, hingga pada 2022 Sulteng menjadi provinsi tertinggi kedua secara nasional dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 15,17%.
Namun, pencapaian tersebut belum mampu menekan ketimpangan di masyarakat yang tercatat dalam 10 tahun terakhir masih berada di level yang sama dengan nilai rasio gini antara 0,30-0,49 poin.
Rasio atau koefisien gini adalah alat ukur untuk mengetahui tingkat ketimpangan pendapatan atau pengeluaran di suatu wilayah.

Pertanyaannya, mengapa laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat drastis tidak mampu menekan rasio gini? Bahkan jika terus diabaikan akan berpeluang memperlebar ketimpangan masyarakat.
Keadaan ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi Sulteng tidak berbanding lurus dengan upaya pembangunan inklusif, seperti pemerataan akses terhadap pendidikan, kesehatan, ketersediaan pekerjaan, peluang ekonomi, dan lain sebagainya.
Ditambah lagi, gambaran rasio gini yang digunakan saat ini hanya mengacu pada ketimpangan pengeluaran ketimbang kekayaan dan penghasilan, sebagaimana yang dijelaskan Edbert Gani Suryahudaya dalam kolom tulisannya di Majalah Tempo yang berjudul “Ketimpangan Ekonomi dan Paradoks Robin Hood”.
Sementara itu, jumlah penduduk Sulteng yang mencapai 3,1 juta jiwa mengalami pertumbuhan penduduk yang terbatas berkisar 1% dari tahun ke tahun. Adapun PDRB sebesar Rp 376,95 triliun (2024) dengan jumlah angka penduduk tersebut, menunjukkan PDRB per kapita (orang) sebesar Rp 120,75 juta atau pendapatan rata-rata penduduk Sulteng berkisar Rp 10 jutaan per orang/bulan.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pendapatan per kapita secara nasional sekitar Rp 78 juta atau 6,5 juta per orang/bulan. Perbedaan jauh juga terlihat dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulteng yang sebesar Rp 2,9 juta.
Model pembangunan ekonomi yang masih terlalu berorientasi pada kapital besar, terutama industri padat modal, hanya menguntungkan sebagian besar kelompok pemodal yang semakin menguasai pasar.
Sementara kelompok lainnya rentan dengan ketidakadilan pertumbuhan ekonomi. Daya beli masyarakat bawah pun stagnan karena masalah pendapatan masyarakat tidak sebanding dengan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok.
Melansir pandangan lainnya, dari artikel “Paradoks ekonomi Indonesia: pertumbuhan tinggi, ketimpangan melebar”, Lili Retnosari dan Tsuraya Mumtaz mengatakan, bahwa ketimpangan bukan hanya masalah statistik, tetapi juga ancaman nyata bagi stabilitas sosial dan politik. Ketidakadilan dalam distribusi pendapatan dapat menimbulkan frustrasi sosial yang berujung pada ketidakstabilan.

Sejarah telah membuktikan bahwa ketimpangan yang ekstrem seringkali menjadi pemicu utama berbagai bentuk kerusuhan sosial, meningkatnya ketidakpercayaan terhadap pemerintah, hingga melemahnya legitimasi di mata rakyat.
Jika pertumbuhan ekonomi tidak dapat menciptakan kesejahteraan yang lebih inklusif, maka status angka hanya akan menjadi pencapaian di atas kertas, tanpa makna yang nyata bagi sebagian besar penduduk Sulteng.
Maka perlu dilakukan siasat kebijakan melalui redistribusi ekonomi di tengah masyarakat sebelum terjadi ketimpangan yang makin tinggi.
Untuk benar-benar melakukan pembangunan ekonomi inkusif, maka kepemimpinan Anwar-Reny sebagai pasangan kepala daerah Sulteng saat ini harus berani, sesuai tagline mereka; “Berani (Bersama Anwar-Reny)”.
Pasangan pemimpin ini harus berani mengubah arah kebijakan agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya menghasilkan angka yang impresif, tetapi juga membawa perubahan nyata bagi kehidupan seluruh rakyat Sulteng.
**
Penulis: Agung Ramadhan | Editor: Andi Baso