Sebelumnya, dilansir dari Kontan, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan ekonomi untuk mengompensasi kenaikan tarif PPN 12%. Hanya saja, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) memandang, beberapa insentif yang dipaparkan disebut tidak relevan bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan lebih banyak menguntungkan kelompok ekonomi menengah atas.
Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Iskandar dalam keterangannya, Minggu (22/12), mengatakan banyak dari paket kebijakan yang sebenarnya bukanlah hal baru dan sudah berjalan, seperti stimulus untuk UMKM dan insentif untuk sektor otomotif.
Namun, skema bantuan tersebut dianggap tidak inklusif dan tidak dirancang untuk mencakup masyarakat bawah.
Sebagai contoh, pemerintah menawarkan diskon Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah dengan harga jual hingga Rp 5 miliar. Diskon ini mencakup penghapusan PPN sebesar 100% untuk Rp 2 miliar pertama selama Januari–Juni 2025, dan pengurangan 50 persen untuk periode Juli–Desember 2025.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa rumah dengan harga tersebut di luar jangkauan masyarakat berpenghasilan rendah. Media pun mengatakan, masyarakat berpenghasilan rendah hanya mampu membeli rumah subsidi dengan harga jauh di bawah Rp500 juta.
Oleh karena itu, diskon PPN ini lebih relevan bagi kelompok yang mampu membayar uang muka dan cicilan rumah di kisaran harga tersebut, bukan untuk masyarakat miskin.
“Dengan kata lain, kelompok masyarakat miskin belum tentu menikmati diskon tersebut,” ujar Media. *(AR)